Setiap hari *biasanya* tak lelah aku bawa si
Michao motor Mio hijau kesayanganku yang selalu mendampingiku mengitari di kota
Intan. Aku sangat menyayangi
Micao karena dia merupakan aset terbesar yang pernah aku miliki. Tentunya ia
tidak pernah melawanku walaupun aku setiap hari membuatnya haus dan bahkan
membuatnya terluka penuh goresan karena kecerobohanku, dan karena itulah ia
mempunyai nilai harga yang sangat tinggi bagiku. Aku beruntung ia tak memiliki
jantung, karena jika ia memilikinya aku takut akan jatuh cinta kepadanya. Tentu
hal itu mudah terjadi jika ada seseorang yang mau mengorbankan dirinya tanpa
pamrih demi melindungiku atau bahkan sekedar untuk melihatku tersenyum puas.
Apakah aku terlalu egois memahami arti cinta? Atau justru cinta itu sendiri
yang menuntut keegoisan? Tidak. bukankah dalam cinta itu dikenal istilah saling
memberi dan menerima? Tentu saja. Jika kita menerima ketulusan hati seseorang
kita akan senantiasa berhutang dan membalasnya. Sama halnya jika kita
memberikan ketulusan kepada seseorang maka senantiasa orang itu akan membayar
atas apa yang kita berikan tanpa tuntutan. Jelas untuk proses terjadinya harus
ada saling memahami, jika itu tidak ada maka rasa senantiasa untuk memberikan
balasan itu juga tidak akan ada. Kenapa? Karena disana tidak ada unsur ketulusan
atas memberi dan menerima. Cukup berbelit jika aku ditanya atau dituntut
mendeskripsikan masalah percintaan karena dalam menjalani masalah percintaan itu
sendiri masih bersifat abstrak bagiku. Mungkin karena aku masih belum menemukan
jati diriku dan arah perjalanan hidupku. Aku menikmati setiap cinta yang aku
rasakan, aku menerima setiap debaran jantung yang kurasakan, dan aku membiarkan
setiap kata cinta yang keluar dari mulutku tanpa aku ketahui sampai kapan dan
kemana perasaan itu akan benar-benar berlabuh. Mungkin masih pada Michao yang aku sadar benda mati.
hhhhhhh, kacaunya pikiranku saat ini membuat aku jelas sangat merindukan Michao yang seakan adalah dewa ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar