Aku tersadar dari lamunanku, dan
segera bangkit dari tempat tidurku. Menatap layar dihadapanku dengan tajam,
mencoba menyesuaikan nama “Hasna Raniyah Mastur” di kolom ID yang harus diisi,
dan dengan ragu mencoba kembali menaruh kode di kolom password. Dengan perasaan
bosan tapi setengah tak percaya disertai degup jantung yang tak bersahabat aku
menekan tombol “ENTER” . Alhasil tulisan di layar itu tetap sama “Anda TIDAK
LULUS”. Jelas kalimat itu sudah tak asing untukku, bahkan aku telah membacanya
lebih dari bayaknya putaran ka’bah bagi jama’ah haji di Saudi Arabia. Entah
mengapa aku sangat tidak menerima itu, mungkin karna tingginya tingkat
kepercayaanku bahwa aku akan lulus masuk sekolah kedokteran. Atau mungkin
karena tali hubungan vertikalku dengan Allah SWT juga tali hubungan
horizontalku dengan sesama manusia masih belum erat. Artinya, aku belum
mengamalkan “hablul minallahi wa hablul minannaasi” yang di ajarkan oleh
guru agamaku. Aku masih mengingat inti perkataan dari beliau yang menjelaskan
bahwa keseimbangan hidup itu akan membawakan hikmah, dan dengan mempererat hablul
minallahi wa hablul minannaasi maka keseimbangan dalam hidup itu akan dapat
aku raih. Dan untuk memperbaiki hubungan vertikalku kepada Allah SWT, tentu aku
membutuhkan objek untuk beribadah mengamalkan perintahNya dan menjauhi
laranganNya yang tak lain adalah sosialisasi dengan sesama makhlukNya. Dan aku
sadar, aku salah satu diantara orang yang menyembunyikan diri dan bertopeng
untuk menutupi kelemahanku dan disisi lain, itu justru membuatku melakukan hal
yang bisa menyakiti orang lain. Aku merasa tak dapat membawa diriku sendiri
karena tersumbat tekanan dan rasa rendah diri yang melekat padaku sehingga
jelas semua yang kulakukan selama ini dirasa kurang maksimal. Aku hanya
berusaha menampilkan diri untuk menutupi kekuranganku. Kini aku duduk
merebahkan diriku pada punggung kursi yang sedari tadi seakan menungguku beristirahat atau mungkin kursi itu merasa
iba melihatku seperti langit-langit yang tak bisa berkomentar karena mereka tak
bernyawa. Dan aku bersyukur mereka terbatas untuk itu karena aku tak mau komentar
mereka semakin membuatku meratapi keadaanku. Aku mengusap keningku yang
walaupun tak mengeluarkan keringat, memikirkan kejadian sama yang telah
terlewati yaitu “aku tidak lulus masuk sekolah kedokteran”. Aku gagal mencoba
masuk 7 Universitas untuk masuk sekolah kedokteran dengan alasan beragam tetapi
sebenarnya mempunyai satu pokok penjelas. Dua universitas pertama yang aku
cantumkan melalui jalur khusus PMDK, aku menerima hal itu karena aku tahu
persaingan melalui jalur ini sangat ketat tetapi yang aku tak mengerti mengapa
temanku yang berasal dari sekolah lain bisa tembus melalui jalur itu dengan
nilai yang yang tak lebih dariku. Mungkin karena faktor-faktor dan syarat
tertentu atau mungkin karena stratifikasi sosial antar sekolah yang aku tak
mengerti. Aku mendatangi Universitas ketiga dengan kepercayaan diri yang besar,
berangkat dari rumahku bersama ibuku menaiki bus umum, ayahku tak bisa ikut
mengantarkanku karena urusan pekerjaan. Menempuh kota metropolitan selama 5 jam
ditambah polusi udara yang terasa panas tidak mematahkan semangat ibuku dan
kepercayaan diriku untuk mendatangi Universitas itu dan hal yang tak pernah aku
sangka bahwa dokumen yang seharusnya aku bawa untuk mendaftar tertinggal
didalam bis. Jelas merupakan hal yang tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku
gagal diawal karena kecerobohanku. Dan kecerobohanku itu terulang ketika aku
mencoba memasuki Universitas keempat. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
pemeriksaan akan dilakukan dengan penggunaan nomor peserta dan aku salah
memasukkan nomor peserta. Aku sempat frustasi akan kecerobohan-kecerobohanku
itu tapi tidak sama sekali terlintas dibenakku untuk menyerah mengejar
cita-citaku. Aku masih menanamkan kepercayaan pada diriku ditambah dengan
motivasi dari orang disekitarku yang masih mengalir terutama dari kedua orang
tuaku yang tak lelah menanti kepastian arah masa depanku. Masih ada SNMPTN,
walaupun harus melewati persaingan yang begitu berat dengan ribuan pesaing yang
siap menancapkan gas nya untuk mencapai garis kepastian akan arah masa depan
mereka, aku berusaha tidak takut dan siap menjadi salah satu dari mereka. Dalam
waktu dua minggu aku mengulang semua pelajaran yang pernah aku pelajari bersama
Desti temanku, menghabiskan waktu dengan buku-buku yang sebelumnya telah usang
karena kemalasanku membukanya. Alhasil penyesalan itu nyata aku rasakan.
Mungkin inilah imbalan yang tepat bagi si pemalas yang hanya bisa bermimpi
tanpa berusaha maksimal untuk melakukan proses pencapaiannya.
“Huff, gini da nci! Coba Na
bener-bener merhatiin si bapak di kelas, atau seenggaknya nanya kalau gak
ngerti kayaknya Na ga akan seribet ini deh nyelesein nih soal” keluku pagi itu
pada soal matematika yang angka-angka itu seakan menari dengan gembira
dihadapanku melihat raut wajahku yang kusut ditambah bibirku yang mngerucut.
“Iya Na bener, aku juga bingung”
ujar Desti mengerutkan keningnya
“Apaan! Kamu mah enak, nci! Udah
pinter. Jadi paling tinggal inget-inget rumus aja” sindirku
“Apaan nggak, kamu juga bisa ah”
Desti melakukan kebiasaan yang sudah membudaya yaitu mengelak ketika dipuji
“Aku? Boro-boro. Masuk 5 besar di
kelas aja gak pernah!” ujarku dan Desti hanya tertawa kecil karena mungkin tak
dapat membantah kenyataan pahit yang aku alami itu.
Walaupun pada kenyataannya aku
tidak pernah menduduki posisi 5 besar didalam kelas, itu bukanlah hal yang
mencegahku untuk berusaha mencapai impianku. Aku percaya, menjadi dokter itu
tidak hanya orang-orang yang memasuki ranking 5 besar dikelasnya. Asal ada
keinginan dan tekad yang kuat siapapun bisa menjadi dokter. Dan aku masih
percaya akan tekad dan kepercayaan diriku.
Sejujurnya, ini hanyalah kisah cerita semangatku dihari yang lalu~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar