Jumat, 17 Februari 2012

kisah dihari yang lalu~~


Aku tersadar dari lamunanku, dan segera bangkit dari tempat tidurku. Menatap layar dihadapanku dengan tajam, mencoba menyesuaikan nama “Hasna Raniyah Mastur” di kolom ID yang harus diisi, dan dengan ragu mencoba kembali menaruh kode di kolom password. Dengan perasaan bosan tapi setengah tak percaya disertai degup jantung yang tak bersahabat aku menekan tombol “ENTER” . Alhasil tulisan di layar itu tetap sama “Anda TIDAK LULUS”. Jelas kalimat itu sudah tak asing untukku, bahkan aku telah membacanya lebih dari bayaknya putaran ka’bah bagi jama’ah haji di Saudi Arabia. Entah mengapa aku sangat tidak menerima itu, mungkin karna tingginya tingkat kepercayaanku bahwa aku akan lulus masuk sekolah kedokteran. Atau mungkin karena tali hubungan vertikalku dengan Allah SWT juga tali hubungan horizontalku dengan sesama manusia masih belum erat. Artinya, aku belum mengamalkan “hablul minallahi wa hablul minannaasi” yang di ajarkan oleh guru agamaku. Aku masih mengingat inti perkataan dari beliau yang menjelaskan bahwa keseimbangan hidup itu akan membawakan hikmah, dan dengan mempererat hablul minallahi wa hablul minannaasi maka keseimbangan dalam hidup itu akan dapat aku raih. Dan untuk memperbaiki hubungan vertikalku kepada Allah SWT, tentu aku membutuhkan objek untuk beribadah mengamalkan perintahNya dan menjauhi laranganNya yang tak lain adalah sosialisasi dengan sesama makhlukNya. Dan aku sadar, aku salah satu diantara orang yang menyembunyikan diri dan bertopeng untuk menutupi kelemahanku dan disisi lain, itu justru membuatku melakukan hal yang bisa menyakiti orang lain. Aku merasa tak dapat membawa diriku sendiri karena tersumbat tekanan dan rasa rendah diri yang melekat padaku sehingga jelas semua yang kulakukan selama ini dirasa kurang maksimal. Aku hanya berusaha menampilkan diri untuk menutupi kekuranganku. Kini aku duduk merebahkan diriku pada punggung kursi yang sedari tadi seakan menungguku  beristirahat atau mungkin kursi itu merasa iba melihatku seperti langit-langit yang tak bisa berkomentar karena mereka tak bernyawa. Dan aku bersyukur mereka terbatas untuk itu karena aku tak mau komentar mereka semakin membuatku meratapi keadaanku. Aku mengusap keningku yang walaupun tak mengeluarkan keringat, memikirkan kejadian sama yang telah terlewati yaitu “aku tidak lulus masuk sekolah kedokteran”. Aku gagal mencoba masuk 7 Universitas untuk masuk sekolah kedokteran dengan alasan beragam tetapi sebenarnya mempunyai satu pokok penjelas. Dua universitas pertama yang aku cantumkan melalui jalur khusus PMDK, aku menerima hal itu karena aku tahu persaingan melalui jalur ini sangat ketat tetapi yang aku tak mengerti mengapa temanku yang berasal dari sekolah lain bisa tembus melalui jalur itu dengan nilai yang yang tak lebih dariku. Mungkin karena faktor-faktor dan syarat tertentu atau mungkin karena stratifikasi sosial antar sekolah yang aku tak mengerti. Aku mendatangi Universitas ketiga dengan kepercayaan diri yang besar, berangkat dari rumahku bersama ibuku menaiki bus umum, ayahku tak bisa ikut mengantarkanku karena urusan pekerjaan. Menempuh kota metropolitan selama 5 jam ditambah polusi udara yang terasa panas tidak mematahkan semangat ibuku dan kepercayaan diriku untuk mendatangi Universitas itu dan hal yang tak pernah aku sangka bahwa dokumen yang seharusnya aku bawa untuk mendaftar tertinggal didalam bis. Jelas merupakan hal yang tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku gagal diawal karena kecerobohanku. Dan kecerobohanku itu terulang ketika aku mencoba memasuki Universitas keempat. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemeriksaan akan dilakukan dengan penggunaan nomor peserta dan aku salah memasukkan nomor peserta. Aku sempat frustasi akan kecerobohan-kecerobohanku itu tapi tidak sama sekali terlintas dibenakku untuk menyerah mengejar cita-citaku. Aku masih menanamkan kepercayaan pada diriku ditambah dengan motivasi dari orang disekitarku yang masih mengalir terutama dari kedua orang tuaku yang tak lelah menanti kepastian arah masa depanku. Masih ada SNMPTN, walaupun harus melewati persaingan yang begitu berat dengan ribuan pesaing yang siap menancapkan gas nya untuk mencapai garis kepastian akan arah masa depan mereka, aku berusaha tidak takut dan siap menjadi salah satu dari mereka. Dalam waktu dua minggu aku mengulang semua pelajaran yang pernah aku pelajari bersama Desti temanku, menghabiskan waktu dengan buku-buku yang sebelumnya telah usang karena kemalasanku membukanya. Alhasil penyesalan itu nyata aku rasakan. Mungkin inilah imbalan yang tepat bagi si pemalas yang hanya bisa bermimpi tanpa berusaha maksimal untuk melakukan proses pencapaiannya.
“Huff, gini da nci! Coba Na bener-bener merhatiin si bapak di kelas, atau seenggaknya nanya kalau gak ngerti kayaknya Na ga akan seribet ini deh nyelesein nih soal” keluku pagi itu pada soal matematika yang angka-angka itu seakan menari dengan gembira dihadapanku melihat raut wajahku yang kusut ditambah bibirku yang mngerucut.
“Iya Na bener, aku juga bingung” ujar Desti mengerutkan keningnya
“Apaan! Kamu mah enak, nci! Udah pinter. Jadi paling tinggal inget-inget rumus aja” sindirku
“Apaan nggak, kamu juga bisa ah” Desti melakukan kebiasaan yang sudah membudaya yaitu mengelak ketika dipuji
“Aku? Boro-boro. Masuk 5 besar di kelas aja gak pernah!” ujarku dan Desti hanya tertawa kecil karena mungkin tak dapat membantah kenyataan pahit yang aku alami itu.
Walaupun pada kenyataannya aku tidak pernah menduduki posisi 5 besar didalam kelas, itu bukanlah hal yang mencegahku untuk berusaha mencapai impianku. Aku percaya, menjadi dokter itu tidak hanya orang-orang yang memasuki ranking 5 besar dikelasnya. Asal ada keinginan dan tekad yang kuat siapapun bisa menjadi dokter. Dan aku masih percaya akan tekad dan kepercayaan diriku.
Sejujurnya, ini hanyalah kisah cerita semangatku dihari yang lalu~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar