Jumat, 17 Februari 2012

cerita kosong


Angin sepoy-sepoy sore itu rasanya berlawanan dengan keadaan hatiku yang bergemuruh.  Menanti kepastian jawaban akan arah masa depanku. Entah harus kemana aku mengadukan kekhawatiranku ini sedang  aku sendiri tak dapat membaca apa yang aku rasakan. Dalam kehidupan ini, pasti terdapat “pro dan kontra” yang dapat menimbulkan kontroversi, pemikiran dari dua pihak yang berbeda membuat arah menjadi bercabang dan tidak membawa pada satu kepastian. Lalu bagaimana bila kontroversi itu dialami hanya satu pihak? Yaitu dari dalam diriku sendiri yang seakan dimonopoli oleh perbedaan akal pikiran dan hatiku. Hanya memberikan efek kesal, sesak, dan letih tanpa membuatku tahu kemana arah yang seharusnya aku ambil.“Ini anak saya, udah gede nya mau dilanjutin ke kedokteran” ujaran bangga dari ayah kepada teman-temannya sambil merangkul pundakku. Kata-kata yang sering terlontar dari mulut ayah itu jelas selalu menjadi bayang-bayang dalam setiap langkahku. “kamu harus jadi dokter, buktikan pada ayah bahwa ibu berhasil mendidik kamu, nak” lirih ibu yang semakin menguatkan tekadku untuk menjadi dokter. Aku melanjutkan perjalanan yang penuh lelah itu. Memaksa dua kakiku untuk terus melangkah walau memikul beban yang begitu berat yang bahkan mampu menimbulkan bunyi gesekan pada setiap jejak langkahku.
Sesampainya di kamarku, aku merebahkan diri di tempat tidur. Menatap langit-langit yang seakan bisu untuk mengatakan “betapa lusuhnya wajahmu”. Terlintas kenangan masa kecilku saat aku berumur 5 tahun. Kala itu, tak bosan aku mendengarkan lantunan lagu susan dengan lirik “susan susan susan kalo gede mau jadi apa?” tanya kak Maya yang menggendongnya, dan dengan suara parau kak Maya menirukan suara boneka yang digendongnya “Susan mau jadi dokter biar bisa sembuhin orang sakit”. Lagu itu mendoktrin anak usia 5 tahun ini untuk bercita-cita menjadi dokter. Maka hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan yang berkala.
“apa cita-citamu” pasti aku menjawab “mau jadi dokter”. Pertanyaan dan jawaban itu terus terulang sampai aku berusia 12 tahun. Mengucapkannya dengan bangga bahkan menginginkan seluruh dunia untuk tahu akan hal itu. Seakan meminta dunia untuk bersiap menerimaku sebagai dokter dimasa depan. Pemikiran kecil yang menginginkan pengakuan besar.
“kenapa kamu ingin menjadi dokter?” dan pemikiranku mulai berkembang dengan menjawab “aku ingin menjadi orang pintar dan hebat dengan membantu meringankan penderitaan orang lain seperti dokter yang menyembuhkan pasiennya”. Dengan pertanyaan yang sama, pada usia 15 tahun aku memberikan jawaban yang lebih luas “aku ingin menjadi tangan kanan Allah SWT untuk membantu sesama makhluknya. Tetapi, aku tidak hanya ingin menyembuhkan orang lain dengan obat, aku juga ingin memberikan perlakuan penuh kasih sayang kepada mereka, karena selain ingin memberikan senyuman kepada mereka aku juga ingin membuat mereka puas dan merasa bahagia sehingga dapat terpancar senyuman kebahagiaan yang merupakan luapan dari perasaan mereka, senyuman yang menyejukkan hati, dan memberiku kebanggaan tersendiri.
Siapa yang mendukungmu menjadi dokter?” maka dengan bangga hati aku menjawab “semua orang disekitarku” mengingat keluarga besarku yang sangat mendukung akan cita-citaku itu. Motivasi mereka yang tak henti-hentinya mengalir kearahku. Juga canda gurau mereka yang menekan keputusanku. “asyik, ngke lamun keluarga dudih sakit teh tinggal ka si Nana gratis haha” gurauan paman Deris yang akrab aku panggil “dudih” itu selalu membayangiku. Juga tak terlewat dukungan dari teman-teman dan sahabatku “kamu pasti bisa jadi dokter kok” semangat dari Puji yang membuatku semakin percaya diri.

Dan saat ini, ketika aku menginjak usia 18 tahun pertanyaan itu mengalami perubahan lagi, sekarang terdapat dua pertanyaan berbeda.
“Lalu dimana kamu akan melanjutkan studi kedokteran?” dan “Kapan kamu akan menjadi dokter”
aku terdiam sesaat .
"Tidak akan pernah" jawabku kosong sekosong harapanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar