Angin sepoy-sepoy sore itu
rasanya berlawanan dengan keadaan hatiku yang bergemuruh. Menanti kepastian jawaban akan arah masa
depanku. Entah harus kemana aku mengadukan kekhawatiranku ini sedang aku sendiri tak dapat membaca apa yang aku
rasakan. Dalam kehidupan ini, pasti terdapat “pro dan kontra” yang dapat
menimbulkan kontroversi, pemikiran dari dua pihak yang berbeda membuat arah
menjadi bercabang dan tidak membawa pada satu kepastian. Lalu bagaimana bila
kontroversi itu dialami hanya satu pihak? Yaitu dari dalam diriku sendiri yang
seakan dimonopoli oleh perbedaan akal pikiran dan hatiku. Hanya memberikan efek
kesal, sesak, dan letih tanpa membuatku tahu kemana arah yang seharusnya aku
ambil.“Ini anak saya, udah gede nya mau dilanjutin ke kedokteran” ujaran
bangga dari ayah kepada teman-temannya sambil merangkul pundakku. Kata-kata
yang sering terlontar dari mulut ayah itu jelas selalu menjadi bayang-bayang
dalam setiap langkahku. “kamu harus jadi dokter, buktikan pada ayah bahwa
ibu berhasil mendidik kamu, nak” lirih ibu yang semakin menguatkan tekadku
untuk menjadi dokter. Aku melanjutkan perjalanan yang penuh lelah itu. Memaksa
dua kakiku untuk terus melangkah walau memikul beban yang begitu berat yang
bahkan mampu menimbulkan bunyi gesekan pada setiap jejak langkahku.
Sesampainya di kamarku, aku
merebahkan diri di tempat tidur. Menatap langit-langit yang seakan bisu untuk
mengatakan “betapa lusuhnya wajahmu”. Terlintas kenangan masa kecilku
saat aku berumur 5 tahun. Kala itu, tak bosan aku mendengarkan lantunan lagu
susan dengan lirik “susan susan susan kalo gede mau jadi apa?” tanya kak
Maya yang menggendongnya, dan dengan suara parau kak Maya menirukan suara
boneka yang digendongnya “Susan mau jadi dokter biar bisa sembuhin orang
sakit”. Lagu itu mendoktrin anak usia 5 tahun ini untuk bercita-cita
menjadi dokter. Maka hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan yang berkala.
“apa cita-citamu” pasti
aku menjawab “mau jadi dokter”. Pertanyaan dan jawaban itu terus
terulang sampai aku berusia 12 tahun. Mengucapkannya dengan bangga bahkan
menginginkan seluruh dunia untuk tahu akan hal itu. Seakan meminta dunia untuk
bersiap menerimaku sebagai dokter dimasa depan. Pemikiran kecil yang
menginginkan pengakuan besar.
“kenapa kamu ingin menjadi
dokter?” dan pemikiranku mulai berkembang dengan menjawab “aku ingin
menjadi orang pintar dan hebat dengan membantu meringankan penderitaan orang
lain seperti dokter yang menyembuhkan pasiennya”. Dengan pertanyaan yang
sama, pada usia 15 tahun aku memberikan jawaban yang lebih luas “aku ingin
menjadi tangan kanan Allah SWT untuk membantu sesama makhluknya. Tetapi, aku
tidak hanya ingin menyembuhkan orang lain dengan obat, aku juga ingin
memberikan perlakuan penuh kasih sayang kepada mereka, karena selain ingin
memberikan senyuman kepada mereka aku juga ingin membuat mereka puas dan merasa
bahagia sehingga dapat terpancar senyuman kebahagiaan yang merupakan luapan
dari perasaan mereka, senyuman yang menyejukkan hati, dan memberiku kebanggaan
tersendiri.”
“Siapa yang mendukungmu
menjadi dokter?” maka dengan bangga hati aku menjawab “semua orang
disekitarku” mengingat keluarga besarku yang sangat mendukung akan
cita-citaku itu. Motivasi mereka yang tak henti-hentinya mengalir kearahku.
Juga canda gurau mereka yang menekan keputusanku. “asyik, ngke lamun keluarga
dudih sakit teh tinggal ka si Nana gratis haha” gurauan paman Deris yang
akrab aku panggil “dudih” itu selalu membayangiku. Juga tak terlewat dukungan
dari teman-teman dan sahabatku “kamu pasti bisa jadi dokter kok”
semangat dari Puji yang membuatku semakin percaya diri.
Dan saat ini, ketika aku
menginjak usia 18 tahun pertanyaan itu mengalami perubahan lagi, sekarang terdapat
dua pertanyaan berbeda.
“Lalu dimana kamu akan melanjutkan studi kedokteran?”
dan “Kapan kamu akan menjadi dokter”
aku terdiam sesaat .
"Tidak akan pernah" jawabku kosong sekosong harapanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar